Memenuhi undangan teman untuk membantu menyelesaikan laporan keuangan ke Balikpapan, saya memilih menggunakan bis Damri untuk menuju ke Bandara, karena masih kosong saya memilih tempat duduk yang agak depan dan duduk disamping jendela. Beberapa saat kemudian setelah beberapa deretan tempat duduk terisi, naiklah seorang lelaki muda yang saya yakin ia seorang etnis tionghoa, lalu ia menghampir tempat duduk disebelah saya dan bertanya “Masih kosong kan pa ?” “oh iya masih kosong silahkan pa”, saya mempersilahkan dia untuk duduk disebelah saya.
Dalam perjalanan akhirnya saya terlibat beberapa pembicaraan dengan ia orangnya cukup ramah dan enak untuk diajak bicara, ia bekerja disebuah perusahaan pengembang property yang memiliki nama cukup besar di negeri ini. Ia akan menuju ke Semarang untuk pulang karena keluarganya berada di Semarang. Usianya sekitar 10 tahun lebih muda dari saya, ia baru memiliki anak satu yang berusia 8 bulan yang kebetulan sedang sakit demam setelah diimunisasi sehingga ia pulang. Istrinya sendiri seorang dokter.
“Sudah berapa lama pak di Jakarta?” Tanya saya kepadanya “Saya sudah 6 tahun pa disini, saya mulai dari nol pa, dulu saya belum pegang jabatan diperusahaan, saya masih jadi sales kalau ada pameran-pameran, ya buat nawar-nawarkan rumah pa”. “Oh gitu pa” timpal saya “Tapi kan kalau Sales property lumayan kan pa penghasilannya” lanjut saya, “Wah belum tentu juga pa, kalau ada penjualan ya kita dapat bonus, kalau engga kan gak dapet uang juga, saya dari awal kerja penghasilan tidak seberapa, jangankan UMR paling setengahnya, karena saya kan masih kayak magang, tapi sekarang bersykur juga pa sudah mulai memegang posisi“, ia melanjutkan ceritanya.
“Wah enak dong sekarang ya pa kalau sudah pegang jabatan” Tanya saya kembali.
“Ya ada enaknya ada enggaknya pa, memang sekarang ada tunjangan yang lumayan pa, termasuk jaminan kesehatan full 100%, tapi pa persaingannya hebat juga, dulu kalau masih belum pegang jabatan belum terasa pak persaingannya, sekarang pa wah luar biasa, kadang saya pernah pa saya mempersiapkan materi untuk presentasi buat nemui klien besok hari, eh malam nya kayaknya computer saya ada yang bajak pa, presentasi saya diambil sama teman saya, dan besok harinya saya lihat dia gunakan presentasi yang saya susun buat presentasi ke kliennya”.
“Masa sih pak sampai segitunya” tanyaku “Oh iya pa jangan salah, namanya juga persaingan kan pa, banyak orang yang melakukan segala hap pak” timpalnya. Hemm luar biasa ya, teganya ada teman ngambil presentasi yang dibuat oleh orang dengan susah payah tanpa permisi lagi, gerutuku dalam hati.
“Keluarga gak dibawa kesini pak” Tanya ku kembali. “Sengaja pa saya tidak bawa keluarga saya kesini, kan sayang juga kalau sekarang istri ikut kesini, kita harus memulai lagi dari awal, istri kan dokter kalau pindah otomatiskan pasien yang suka berlangganan berobat juga hilang, dan disini kita harus mencari membangun system lagi” ia bercerita kenapa tidak ia bawa keluarganya.
“Bener pa kata orang, kalau bekerja di orang bisa habis waktu dijalan nih, apalagi saya harus bolak balik ke Semarang, kadang jam 5 pagi hari senin saya sudah harus di Bandara pa untuk kembali ke Jakarta, lanjutnya. “Wah kalau jam 5 pagi masih mending pa, saya malah kadang Jam 4.15 sudah harus berangkat dari rumah pa kalau tidak mau macet dan sampai di kantor tepat waktu, itu kalau saya bawa mobil sendiri, maklum Jakarta kan macet, makanya kadang saya lebih memilih menggunakan KRL. Malah kalau saya perhatikan banyak orang yang berangkat lebih pagi lagi dari saya, kadang saya lihat mulai masuk tol cimanggis saja mobil dah mulai merayap, padahal itu masih jam 5 pagi pa, kadang saya juga bingung nih orang pada berangkat jam berapa yah dari rumah” Saya menimpali pembicaraannya.
“Iya pak, makanya saya bilang sama istri saya sabar dulu disana ya, kita kumpulkan modal dulu nanti kita buka usaha” lanjutnya. “Iya pak bener, kalau wiraswata memang merintisnya tidak mudah, tapi hasilnya mungkin lebih besar dari pada kita bekerja” timpa saya.
“Iya pak, saya bekerja hanya untuk tahu bagaimana orang lain menjalankan bisnisnya dan bagaimana sistemnya, saya disini belajar bagaimana cara bernegosiasi dengan orang dengan klien, bagaimana berhubungan dengan bank dan hal-hal lainnya pak”. “Nanti kalau sudah ada modal sedikit saya akan terapkan dan saya akan rintis usaha saya sendiri”. “Ya jadi developer kecil-kecilan dulu lah” begitu celotehnya.
Hemmm…ini toh yang menjadi alasan dia bekerja sementara saya yakin keluarganya pun pasti dari keluarga yang minimal memiliki usaha sendiri-sendiri.
“Wah benar juga tuh pa” timpal saya mendukung rencananya, “Keluarga bapak juga pasti pengusaha semua kan” lanjut saya. “Oh iya pa, kakek saya orang Jakarta juga, ia punya toko diglodok jual-jual barang-barang elektronik, tapi bapak saya di Semarang pa, ia gak mau usaha disini, dulu awalnya usaha keluarga hampir hancur pasca krisis ekonomi tahun 1997 nah bapak saya pindah ke Semarang pa memulai usaha baru, ya besyukur sekarang sudah jalan lagi pak.
“Wah kalau gitu kan enak pak, bapak tinggal mengembangkan usaha kan pasti ada dukungan dari keluarga”, lanjut saya, “Iya sih pak, tapi kami biasanya tidak begitu, kami coba usaha masing-masing saja tidak mau melanjutkan usaha orang tua, kayak bapak saya kan gak mau ia usaha di Jakarta ia memilih usaha di Semarang, kakak saya juga sama gak mau usaha di Semarang mala ia sekarang usaha di Jakarta juga pa kembali lagi, jadi kita harus mandiri pa.
Hemmm banyak pelajaran yang bisa saya ambil nih dari pembicaraan ia selama menuju ke Bandara, dan akhirnya kami pun berpisah di Bandara. Semoga saya juga bisa memulai mengembangkan bisnis saya pribadi selain hanya bekerja. Aamiin.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete