Jurang perbedaan status sosial yang semakin besar antara si kaya dengan si miskin, Pertumbuhan ekonomi yang saat ini disebutkan semakin baik nampaknya hanya dirasakan oleh golongan tertentu yang mempunyai kekuatan modal yang cukup, sementara bagi kalangan masyarakat bawah keadaanya justru semakin menghawatirkan. Harga produk yang semakin tinggi mengakibatkan daya beli yang semakin menurun, gelombang PHK terus berlanjut sementara peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan baru semakin berat.
Walaupun gerakan ekonomi kerakyatan ini sering kita dengar terlontar manis dari para politisi maupun pemangku kebijakan, namun kenyataannya belum bisa dirasakan oleh kita sebagai wong cilik. Kalau kita perhatikan banyak para pengusaha kecil yang semakin terus terpinggirkan, contohnya semakin banyaknnya perusahaan-perusahaan ritel berskala nasional maupun internasional yang terus mengembangkan sayapnya untuk menjangkau pelosok-pelosok kecamatan dan desa semakin menggerus pangsa pasar usaha para pengusaha ritel kecil tanpa ada perlindungan hukum yang jelas. Belum lagi kebijakan penetapan tarif pajak badan yang menganut sistem tunggal 28 % dari keuntungan yang diperoleh untuk tahun 2009 dan 25% mulai tahun 2010. Kebijakan ini tentunya sangat merugikan bagi para pengusaha kecil menengah yang saat ini sedang tergopoh-gopoh untuk dapat mempertahankan usahanya akibat tekanan krisis ekonomi. Lagi-lagi kebijakan ini sangat menguntungkan bagi para pengusaha bermodal besar. Para politisi terus mengumandangkan dengan indah keberpihakannya terhadap ekonomi kerakyatan sebagai upaya untuk menina bobokan masyarakat, sementara disisi lain ia terus berupaya agar kesejahteraan pribadinya menjadi yang utama tanpa peduli apakah diperoleh dengan cara halal atau haram. Kasus korupsi dikalangan anggota dewan yang terhormat terus bermunculan.
Disisi lain, budaya masyarakat kita yang semakin hedonis dan konsumtif turut menjauhkan harapan untuk bisa mewujudkan gerakan ekonomi kerakyatan. Budaya gotong royong yang merupakan budaya luhur bangsa semakin terpinggirkan, keinginan untuk saling memajukan semakin terkikis. Kalaupun kita punya kekuatan, kita akan merasa senang jika kita dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa peduli kepada orang lain atau bahkan kepada orang-orang yang mendukung kemajuan kita, membuat orang lain terus menggantungkan nasibnya kepada kita dan terus mengeksploitasi kemampuannya tanpa kita berikan kesempatan kepada mereka untuk dapat meningkatkan kemampuan ekonominya, dan kita merasa bangga dengan kekayaaan yang kita miliki, kepekaan terhadap lingkungan hanya retorika belaka.
Gerakan ekonomi kerakyatan akan sulit diwujudkan jika tatanan-tatanan yang seharusnya menjadi pilar untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan terus terkikis. Kita hanya baru bisa mimpi.
Walaupun gerakan ekonomi kerakyatan ini sering kita dengar terlontar manis dari para politisi maupun pemangku kebijakan, namun kenyataannya belum bisa dirasakan oleh kita sebagai wong cilik. Kalau kita perhatikan banyak para pengusaha kecil yang semakin terus terpinggirkan, contohnya semakin banyaknnya perusahaan-perusahaan ritel berskala nasional maupun internasional yang terus mengembangkan sayapnya untuk menjangkau pelosok-pelosok kecamatan dan desa semakin menggerus pangsa pasar usaha para pengusaha ritel kecil tanpa ada perlindungan hukum yang jelas. Belum lagi kebijakan penetapan tarif pajak badan yang menganut sistem tunggal 28 % dari keuntungan yang diperoleh untuk tahun 2009 dan 25% mulai tahun 2010. Kebijakan ini tentunya sangat merugikan bagi para pengusaha kecil menengah yang saat ini sedang tergopoh-gopoh untuk dapat mempertahankan usahanya akibat tekanan krisis ekonomi. Lagi-lagi kebijakan ini sangat menguntungkan bagi para pengusaha bermodal besar. Para politisi terus mengumandangkan dengan indah keberpihakannya terhadap ekonomi kerakyatan sebagai upaya untuk menina bobokan masyarakat, sementara disisi lain ia terus berupaya agar kesejahteraan pribadinya menjadi yang utama tanpa peduli apakah diperoleh dengan cara halal atau haram. Kasus korupsi dikalangan anggota dewan yang terhormat terus bermunculan.
Disisi lain, budaya masyarakat kita yang semakin hedonis dan konsumtif turut menjauhkan harapan untuk bisa mewujudkan gerakan ekonomi kerakyatan. Budaya gotong royong yang merupakan budaya luhur bangsa semakin terpinggirkan, keinginan untuk saling memajukan semakin terkikis. Kalaupun kita punya kekuatan, kita akan merasa senang jika kita dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa peduli kepada orang lain atau bahkan kepada orang-orang yang mendukung kemajuan kita, membuat orang lain terus menggantungkan nasibnya kepada kita dan terus mengeksploitasi kemampuannya tanpa kita berikan kesempatan kepada mereka untuk dapat meningkatkan kemampuan ekonominya, dan kita merasa bangga dengan kekayaaan yang kita miliki, kepekaan terhadap lingkungan hanya retorika belaka.
Gerakan ekonomi kerakyatan akan sulit diwujudkan jika tatanan-tatanan yang seharusnya menjadi pilar untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan terus terkikis. Kita hanya baru bisa mimpi.
0 comments:
Post a Comment